Lelaki itu!
Terindah yang kupandang tentangmu adalah
Keindahan yang agung dari dalam hatimu
Kesempurnaan jiwamu
Bagai malaikat pelindung hatiku
Karna kau...bidadari kecilku
Lelaki itu mengirimkan puisi itu langsung ke ponselku, Sesaat aku meminta lelaki itu menciptakan kata-kata untukku dalam waktu 10 menit. Tidak butuh sampai waktu yang kutentukan, lelaki itu mengirimkannya. Mungkin dunia khayal menuntun lelaki itu menuliskan kata-kata indah untukku. Aku tergila2 akan laki-laki itu. Tapi....siapa sangka jika puisi-puisi yang tercipta untukku itu bukan untukku.
Pagi itu, seperti bukan pagi-pagi sebelumnya. Pagi dimana aku memulai kebahagiaanku dengan lelaki itu tetapi juga membuat aku memasuki lorong besar hitam dan gelap yang semakin ke ujung semakin sempit. Aku melirik jam tangan ku dan waktu sudah menandakan pukul 07.00 pagi. Di perhentian halte bus yang biasa kita naiki bersama. Aku melihat kanan dan ke kiriku, tapi tak satupun rona wajah yang kukenal. Kemana kamu? Bisikku dalam hati.
Hembusan angin menyibakkan rambut di dahiku. Wajahku sepertinya tertutupi bedak tebal karena debu-debu jalanan sudah mulai mengitari tubuhku. Masih aku menunggu tanpa rasa.
"Hai..", tiba-tiba seseorang menepuk pundakku dengan nafas terengah-engah. Lelaki idolaku yang sudah kunanti-nantikan kedatangannya. Wajah lelaki itu yang tirus menyunggingkan senyum tipis ke arahku. Aku tersenyum manja membalasanya, seolah-olah aku melihat kekasihku. Tapi bukan, lelaki itu hanya menjadi temanku. Sikapnya yang sulit ditebak, seringkali membuatku salah tingkah atau terkadang merasa tidak dianggap.
"Ayo...tunggu apalagi. Jalan kita, ntar telat", ajaknya di sela-sela lamunanku membayangkan jika dia menjadi kekasihku. Membuyarkan imajinasiku andaikan bisa bersamanya sepanjang hidupku. Dengan langkahnya yang tegas, dia menarik tanganku dan membawaku mengikutinya.
Dear God,
Terima kasih atas hadirnya dia
Terima kasih atas senyumnya dia
Terima kasih atas genggaman eratnya di tanganku
Sungguh rasa ini hanya akan kusimpan
Sungguh rasa ini tidak akan terungkit
Terungkit ke permukaan
Dan memberi tahu agar Cupid segera memanahkan panah cintanya.
"Kamu tau gak, orang tua wanita itu menghubungiku lagi", suaranya lagi-lagi memecah lamunanku.
"Katanya aku masih mengganggu anaknya, padahal sudah 2 minggu kami putus", lanjutnya. Kali ini aku melihat awan mendung di wajahnya. Senyum yang membuatku bahagia itu sudah tidak ada lagi.
Perlahan dia menarik nafas dan untuk pertama kalinya aku melihat laki-laki itu menitikkan air mata.
Dia menghentikan langkahnya dan mengajakku duduk di pinggiran taman dan masih terlalu jauh dari lokasi kampus.
Aku tidak pernah mengerti dengan apa yang dirasakannya terhadap wanita itu. Tapi kali ini aku harus sadar jika wanita itu begitu berarti untuknya. Semua orang terdengar mengutuk wanita itu yang telah meninggalkan lelakiku. Mengutuk semua kepedihan yang dirasakan lelakiku.
Tanpa aku sadari, laki-laki itu sudah berada di hadapanku. Berdiri membungkuk, menggenggam tanganku dan berkata, "Jangan tinggalkan aku, tetaplah disisiku.."
Jika aku menjadi air matamu, dan menetes mengalir di pipimu
Aku tidak akan pernah mengering
Pertanda jika ini air matamu yang terakhir.
Ini janjiku......
dan aku mengangguk sambil menyeka air mata Laki-laki itu.
Pagi itu merubah segalanya dihidupku. Pagi itu menjadi jawaban disetiap pengharapanku pada saat bersama laki-laki itu. Senyumnya yang tipis sudah mulai terbuka lebih untukku seorang.
Setiap malam sebelum tidurku, dia selalu mengirimkan sepenggal kata2 puisi yang akan dirangkainya menjadi sebuah lagu. Itu membuat aku semakin tidak ingin memejamkan mata. Memulai mimpiku dengan sosok-sosok liar yang seringkali tidak aku kenal. Cerita mimpi yang tidak masuk akal. Cerita mimpi yang selalu berpindah tempat dari waktu ke waktu. Aku benci bermimpi. Lantas bukan itu yang membuatku enggan untuk tertidur. Tapi aku takut menghadapi kenyataan lelaki itu akan berubah esok harinya. Lelaki itu tidak lagi menjadi pangeranku. Lelaki itu tidak lagi mengirimkanku kata2 indah setiap aku akan mengakhiri sebuah hari.
Tapi betapa egoisnya aku dengan hidup. Setiap aku tertidur pulas, dan terbangun dengan ucapan selamat pagi darimu di ponselku. Aku akan marah dengan waktu dan matahari karena terlalu lama berganti dengan malam. Menanti saat-saat lelaki itu hanya terfokus pada diriku.
Walau setiap hari bertemu dengannya. Walau dirinya selalu menyentuh jemariku. Tatapan matanya yang menggetarkan hatiku. Kata2 lembutnya berbicara denganku. Tapi semua itu juga dilakukan dengan orang lain di depan mataku. Hatimu selalu terbagi. Aku benci itu.
Berbulan-bulan aku percaya akan bualan kata-kata puitis lelakiku itu. Percaya sehingga membuatku menuliskan kembali setiap kata yang lelaki itu kirimkan ke ponselku. Tahun, bulan, tanggal, bahkan waktu lelaki itu mengirimkannya ke ponselku tercatat dengan manis.
dan malam-malam bahagia berikutnya pun berlanjut.
--------------------
Tiba-tiba aku berteriak lantang dan memukul tubuh lelakiku. Dia diam tanpa berucap satu katapun untuk menjelaskan apa yang kurasakan saat ini. Otakku letih mencerna semua ini, mencerna perlakuan lelaki itu terhadapku. Aku membaca kata-kata itu....
Terindah yang kupandang tentangmu tentangmu....
Adalah keindahan yang agung dari dalam hatimu
Kata-kata yang menyebabkan aku memutuskan untuk membuat hatiku menderita lebih dalam. Kata-kata yang menyibukkan hatiku untuk merindukan dia. Kata-kata yang akhirnya menghabiskan seluruh air mataku saat ini.
Kesempurnaan jiwamu....
Aku terasa bagaikan sampah. Tumpukan-tumpukan kertas hasil copy paste sms lelaki itu hanya seperti api yang diwakilkan neraka untuk membakarku.
Bagai malaikat pelindung hatiku...
Karna kau .......
Binataaaaag!! teriakku dalam hati. Aku membaca kata-kata itu dari ponsel lelaki itu. Tapi bukan untukku melainkan untuk nya......
Semua yang lelaki itu lakukan untukku berulang lagi untuk wanita yang lain. Aku terjatuh dalam pikiranku. Aku akan menjadi wanita yang dikutuk oleh orang-orang. Aku menjadi wanita yang sama berbaris dengan wanita-wanita sebelum aku.
Tanganku terhenti memukulnya. Aku cukup bodoh jika menangis untuknya. Aku cukup bodoh yang ingin merasakan genggaman tangannya, pandangan mata darinya dan ucapan maaf yang terukir dari bibirnya untukku.
Aku pergi.....
Di pagi yang lain, aku berdiri di perhentian halte bus kembali.. Melihat jam sudah menunjukkan pukul 07.00 pagi. Sebelum debu kembali menghiasi wajahku, aku beranjak jalan tanpa perlu memperhatikan kanan kiriku. Tanpa perlu ditemani lagi. Menjalani hidupku seperti biasa tanpa kepedihan yang kubawa berlarut.
------
Komentar
Posting Komentar