Wajahnya yang muram terlihat sedang menahan sakit yang tidak terkatakan. Sakit karena rindu, marah, benci dan juga tanda tanya yang besar di pikirannya. Malam itu hanya isakan tangisnya yang terdengar dan sesekali desis bara yang terdengar di sela2 isapan rokok yang terikat dijarinya. Wajah di sebelahnya hanya memancarkan kekosongan tanpa menyanggupi pertanyaan yang dilontarkan bertubi-tubi olehnya.
Malam semakin larut dan tanda-tanda pikiran menyatu antara kedua manusia itu belum juga didapatkan. Rokok semakin menjadi-jadi mengepulkan asap di atas kepala kedua insan manusia yang belum bisa bersikap layaknya makhluk hidup, berkomunikasi.
"Kenapa? Haruskah kita berakhir seperti ini. Haruskah aku menerima semua ini. Haruskah aku..aaaaaarrrggghh ini tidak mungkin", lelaki itu mulai memecah keheningan kembali. Dia berdiri dan membenamkan diri di tembok pagar rumah itu. Tembok dingin. Tembok saksi bisu sebuah perpisahan itu. Sebuah perpisahan dari hubungan yang sangat indah.
Selang 10 menit, akhirnya wanita itu bersuara lirih tetapi tegas. "Ini karmamu, bukan salahku".
Tanpa menghitung detik yang berganti, wanita itupun segera pergi dari hadapan laki-laki itu dan masuk ke dalam rumahnya.
Seperti racun serangga merasuk di jantung, terbakar. Lelaki itu hanya diam sambil memandang lekat ke arah pintu rumah tempat berlalunya wanita yang sangat dicintainya.
Wahai wanitaku..
Telah habis peluhku untuk menimang nama besarmu
Telah habis dayaku untuk menimbang keyakinan kita dulu
Namun..itu semua tidak akan pernah bisa
Memudarkan keinginanmu
Wahai wanitaku..
Pergilah dengan suka citamu
Akan kubawa duka citaku
Ke alam kehidupanku
Wahai wanitaku
Ingatlah suatu masa roda akan kembali berputar
Tidak hari ini, tidak esok, tidak di hari dikemudian nanti
Tapi dikehidupan darah dagingmu sendiri
Wahai wanitaku
Luka ini bagai beribu sayatan yang kau ukir
Bukan hanya kamu yang mengukir
Tapi seluruh keluargamu
Aku akan membalasnya, disaat yang tepat.
Malam semakin larut dan tanda-tanda pikiran menyatu antara kedua manusia itu belum juga didapatkan. Rokok semakin menjadi-jadi mengepulkan asap di atas kepala kedua insan manusia yang belum bisa bersikap layaknya makhluk hidup, berkomunikasi.
"Kenapa? Haruskah kita berakhir seperti ini. Haruskah aku menerima semua ini. Haruskah aku..aaaaaarrrggghh ini tidak mungkin", lelaki itu mulai memecah keheningan kembali. Dia berdiri dan membenamkan diri di tembok pagar rumah itu. Tembok dingin. Tembok saksi bisu sebuah perpisahan itu. Sebuah perpisahan dari hubungan yang sangat indah.
Selang 10 menit, akhirnya wanita itu bersuara lirih tetapi tegas. "Ini karmamu, bukan salahku".
Tanpa menghitung detik yang berganti, wanita itupun segera pergi dari hadapan laki-laki itu dan masuk ke dalam rumahnya.
Seperti racun serangga merasuk di jantung, terbakar. Lelaki itu hanya diam sambil memandang lekat ke arah pintu rumah tempat berlalunya wanita yang sangat dicintainya.
Wahai wanitaku..
Telah habis peluhku untuk menimang nama besarmu
Telah habis dayaku untuk menimbang keyakinan kita dulu
Namun..itu semua tidak akan pernah bisa
Memudarkan keinginanmu
Wahai wanitaku..
Pergilah dengan suka citamu
Akan kubawa duka citaku
Ke alam kehidupanku
Wahai wanitaku
Ingatlah suatu masa roda akan kembali berputar
Tidak hari ini, tidak esok, tidak di hari dikemudian nanti
Tapi dikehidupan darah dagingmu sendiri
Wahai wanitaku
Luka ini bagai beribu sayatan yang kau ukir
Bukan hanya kamu yang mengukir
Tapi seluruh keluargamu
Aku akan membalasnya, disaat yang tepat.
Comments
Post a Comment